Komisi III DPR RI Mangihut Sinaga, S.H., M.H., angkat suara terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Edy Meiyanto, eks Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menegaskan bahwa pemecatan pelaku dari jabatan akademik belum cukup untuk menegakkan keadilan.
“Pemecatan hanyalah langkah administratif. Ini adalah kejahatan seksual yang harus diproses secara pidana. Jangan ada toleransi terhadap predator seksual, apalagi di lingkungan akademik,” ujar Mangihut dalam keterangannya.
Kronologi Kasus
Kasus ini mencuat setelah UGM menerima laporan dari sejumlah korban yang merupakan mahasiswi bimbingan pelaku. Dalam laporan yang masuk ke Unit Layanan Terpadu (ULT) UGM, disebutkan bahwa tindak kekerasan seksual terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, melibatkan pelecehan verbal, fisik, hingga relasi kuasa dalam proses akademik.
Tim Investigasi UGM menemukan cukup bukti bahwa Edy Meiyanto telah melanggar etik dan melakukan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Berdasarkan hasil tersebut, pihak universitas menjatuhkan sanksi pemecatan secara permanen terhadap pelaku pada Maret 2025.
Namun hingga kini, belum ada laporan pidana yang ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, dan pelaku belum ditetapkan sebagai tersangka secara hukum negara.
Mangihut: Status Akademik Bukan Tameng
Mangihut, yang memiliki latar belakang panjang di dunia hukum dan kejaksaan, menyayangkan lambannya respons penegakan hukum terhadap kasus ini.
“Kampus bisa bertindak secara etik, tapi proses pidana harus jalan. Tidak boleh berhenti di wilayah internal kampus. Negara harus hadir dan menjamin perlindungan terhadap korban, bukan seolah memberi karpet merah kepada pelaku karena statusnya,” ujar Mangihut.
Ia juga menekankan bahwa kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan dengan permintaan maaf, mediasi, atau penyelesaian non-litigasi.
“Kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap tubuh dan martabat manusia. Jangan dibungkus dengan istilah ‘pelanggaran etik’. Aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian hingga kejaksaan, harus bergerak cepat,” tegasnya.
Dorongan terhadap RUU TPKS dan Perlindungan Korban
Lebih lanjut, Mangihut menyatakan bahwa kasus ini menjadi alarm penting bagi pemerintah, khususnya DPR RI, untuk memperkuat implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta mendorong semua kampus memiliki mekanisme pelaporan yang aman, profesional, dan berpihak pada korban.
“Saya dukung penuh penguatan UU TPKS. Dan saya ingatkan: tidak ada zona nyaman bagi pelaku kekerasan seksual. Apakah dia pejabat, akademisi, atau siapa pun, harus diproses sampai tuntas.”