Jakarta – Tanah merupakan salah satu aset berupa benda mati yang kerap menimbulkan sengketa. Namun tak semua sengketa tanah berakhir ke meja hijau. Banyak pihak yang mencapai kesepakatan lewat mediasi. Sedangkan langkah hukum akan dijadikan upaya terakhir dalam sengketa. Dalam konteks ini, kesehatan hukum yang ditunjuk untuk memahami harus memahami cara. Tujuannya adalah untuk memilih langkah yang tepat dalam penyelesaian sengketa.
Dalam IG Live Klinik Hukumonline, Jumat (7/5), Pendiri Firma Hukum WLP Wardaniman Larosa mengungkapkan bahwa pada bahwa perkara pertanahan tidak memiliki perbedaan dengan perkara ligitasi lainnya. Hanya saja dalam perkara sengketa tanah kuasa hukum harus memahami terlebih dahulu. Memahami kasus posisi penting sebagai bagian untuk mempelajari masalah.
“Kiat hukum perkara pertanahan sama saja dengan litigasi lain, cuma kalau kita pertanahan kita harus tahu kasus di peringkat dulu,” kata Warda.
Setelah memahami situasi, kuasa hukum harus memahami dan menguasai peraturan dan aturan yang ada semisal daluarsa perkara dan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah pertanahan yang sedang membantu. Hasil dari upaya-upaya tersebut akan menentukan apakah perkara akan memutuskan apakah pihak kepolisian atau melayangkan gugatan ke pengadilan jika melawan hukum.
Gugatan ini dilayangkan harus tak terkalahkan dengan lokasi dan obyek sengketa. Jika obyek sengketa bersifat KTUN, maka permohonan perkara bisa diajukan ke PTUN, dan bisa ke pengadilan negeri jika sengketa sengketa kepemilikan tanpa mengandung unsur PTUN dan bersifat perdata.
Namun perkara sengketa tanah ini juga bisa berlabuh pidana. Menyoal ini Warda wilayah tak ada formulasi khusus untuk mendahulukan pidana atau perdata. Namun yang paling penting adalah membuktikan bahwa pidana dalam sengketa tanah tersebut.
“Mau pidana dulu atau perdata, yang terpenting buktikan dulu, tidak ada pidananya sehingga kalau pidana terbukti sudah terbukti perbuatan melawan hukum (PMH) itu bisa mengajukan gugatan PMH ke pengadilan negeri dengan bukti kuat dari putusan pengadilan pidana yang sudah inkrah. Tapi tidak harus seperti itu, tergantung kasus dan trik dari masing-masing pengacara, tapi kurang lebih jalurnya bisa ke PTUN, pengadilan negeri atau ke kepolisian, ”paparnya.
Modus Operandi
Sengketa tanah yang berlabuh ke ranah pidana biasanya melibatkan mafia tanah. Keberadaan mafia tanah ini merupakan hal baru dalam perkara pidana pertanahan. Dalam melakukan kejahatannya, mafia tanah melakukan beragam modus operandi dan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam pengurusan sertifikat tanah.
Warda Larosa menyebut beberapa bentuk modus operandi yang dilakukan mafia tanah. Pertama seolah-olah menjadi pembeli dan meminjam sertifikat tanah dengan alasan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Saat sertifikat sudah diperoleh, mafia tanah akan melakukan pemalsuan sertifikat, menjual tanah tanpa sepengetahuan pemilik dengan melibatkan oknum-oknum yang memang sudah dipersiapkan. Untuk menghindari hal ini Warda Larosa mengigatkan untuk tidak memberikan sertifikat kepada pihak lain, terutama pihak-pihak yang tidak dikenal.
Kedua, modus kepemilikan girik. Dalam satu kasus, kata Warda Larosa, terdapat kasus yang cukup menarik di mana sertifikat dapat dikalahkan oleh girik. Pemilik tanah memiliki sertifikat yang dikeluarkan lima tahun lebih awal (1975) klaim kepemilikan girik (1980). Saat proses di pengadilan, PTUN mengabulkan gugatan pemohon dan memerintahkan kantor pertanahan untuk membatalkan sertifikat yang diterbitkan tahun 1975. Untungnya di tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI membatalkan putusan PTUN tersebut.
“Ini sertifikat yang bisa dikalahkan oleh girik. Putusan MA kemudian memenangkan kita dan putusan yang cukup bagus, seperti ini modus-modus yang dicoba dilakukan oleh para mafia tanah, ”paparnya.
Ketiga, dengan melibatkan broker dan oknum notaris dan PPAT. Pada beberapa kasus, penjualan dilakukan oleh broker. Pihak broker melakukan penipuan dengan memanfaatkan kondisi fisik pemilik tanah karena faktor usia untuk memainkan harga jual tanah. Ketidaktelitian dan ketidakpastian pemilik sertifikat yang dijadikan alat oleh broker untuk menjalankan modusnya dimana harga penjualan tanah pada AJB tidak sesuai dengan jumlah dana yang diserahkan kepada pemilik sertifikat tanah. Kasus semacam ini biasanya melibatkan oknum NOTARIS dan PPAT.
“Ini terjadi ketika korban rata-rata orang tua. Orang tua yang sudah berumur tidak bisa memahami pemahaman pasaran, tidak terlalu memperhatikan surat-surat, sering lupa ingat. Dalam satu kasus ada broker yang berhasil menjual tanah senilai Rp32 miliar, tapi yang diserahkan kepada pemilik sertifikat hanya Rp16 miliar. Di sini notaris peran dan PPAT dalam konteks jual beli patut diduga modus-modus yang sering kami temukan, ”imbuhnya.
Untuk menghindari mafia tanah ini, Warda Larosa meminta semua pihak untuk memastikan bahwa sertifikat tanah yang mereka miliki adalah asli dan nyata. Hal ini mengingat kerja mafia tanah yang tersistematik dan memiliki tim sendiri pada lapisan yang cerdas yang sertifikat sertifikat.
Kemudian pemilik sertifikat untuk tidak sembarangan memberikan dokumen seperti KTP pribadi, NPWP dan sertifikat tanah itu sendiri. Pasalnya, pemalsuan dokumen semacam itu kesalahan hal sulit yang dilakukan oleh mafia tanah.
Dan jika ingin melakukan jual beli tanah, wajib melakukan validasi notaris dan PPAT. Sebaiknya menggunakan jasa NOTARIS dan PPAT yang memiliki rekam jejak dan reputasi baik.
“Kemudian saran saya jangan memberikan kesempatan kepada sembarang orang untuk mengakses dokumen legal. Selama modus ini seperti ini bisa lolos karena ada oknum yang bermain, ”pungkasnya.
Kegiatan IG LIve diatas telah berjalan dengan lancar dan hingga berita ini diturunkan ini telah 6.218 orang pemirsa, sehingga acara tersebut sangat bermanfaat bagi publik agar terhindar dari mafia tanah.